Rabu, 07 Januari 2009

PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN PEMBANGUNAN PARIWISATA

PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN
PEMBANGUNAN PARIWISATA *)


I. Pendahuluan

Garis - Garis Besar Haluan Negara mengamanatkan bahwa pembangunan dan pengembangan sektor pariwisata bertujuan meningkatkan penerimaan devisa, meningkatkan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja, memperkenalkan alam dan budaya nusantara serta mempererat pergaulan antar bangsa.
Adapun visi kepariwisataan Indonesia adalah “Pariwisata Menumbuhkembangkan Kesejahteraan dan Perdamaian”. Visi ini mengandung pengertian : 1) pariwisata menjadi andalan pembangunan nasional yang secara seimbang mempertimbangkan bidang ekonomi dan bidang – bidang lainnya, demi kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia; 2) Indonesia menjadi kawasan pariwisata dunia yang mengutamakan pembangunan pariwisata nusantara dan sekaligus sebagai tujuan wisatawan mancanegara (Depbudpar, 2000).
Menurut Undang – Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, maka tujuan pembangunan pariwisata adalah : i) mengembangkan dan memperluas diversifikasi produk dan kualitas pariwisata nasional; ii) berbasis pada pemberdayaan masyarakat, kesenian dan sumber daya (pesona) alam lokal dengan memperhatikan kelestarian seni dan budaya tradisional serta kelestarian lingkungan hidup setempat dan; iii) mengembangkan serta memperluas pasar pariwisata terutama pasar luar negeri (Depbudpar, 2000).
Indonesia terus berupaya meningkatkan sektor pariwisata, yang diharapkan terus mampu meningkatkan kesempatan kerja, pendapatan masyarakat serta berkontribusi pada produk domestik bruto, hal ini sesuai dengan kajian bahwa kalau mesin penggerak penyerapan tenaga kerja pada abad ke – 19 adalah pertanian, pada abad ke – 20 adalah industri manufacturing dan pada abad ke – 21 adalah pariwisata (Dowid J. Villiers, 1999, dalam Salah Wahab, 1999).
_______________________






Pitana, Sirtha, Anom, et.al, (2005) dalam “ Hospitality Industry and Tourism Education (The Case of Indonesia) menyatakan “ Tourism has been one of the biggest industries in the world, seen from various indicators, such as labor absorption, people movement, and income earned. For a number of countries and territories, tourism has been the biggest contributor in the formation of their gross domestics products”.

Pemerataan pembangunan perlu mendapat perhatian serius karena menurut kajian Colman dan Nixon (1978) menyatakan bahwa pembangunan yang menyebabkan peningkatan dibidang ekonomi, bila tidak dibarengi dengan penyebaran yang merata antar mesyarakat, maka pembangunan tersebut dikatakan gagal. Ini telah terbukti saat negara Indonesia kolap akibat tidak meratanya dampak positif dari pembangunan. Konglomerasi telah melemahkan sendi - sendi perekonomian Indonesia.
Konsep pembangunan yang mengagungkan paradigma pertumbuhan, yang percaya sepenuhnya dengan tricle down effect, dimana konsep dasarnya adalah dengan mengembangkan industri besar, secara otomatis akan memberikan pengaruh positif pada perusahaan kecil di bawahnya atau masyarakat di sekitarnya. Ternyata kajian empiris menunjukkan bahwa asumsi teori pertumbuhan ini tidak sepenuhnya benar karena implementasinya ada yang tidak sesuai dengan harapan.
Meskipun demikian pembangunan kawasan wisata juga dapat memberikan manfaat positif bagi masyarakat sekitarnya, hal ini berdasarkan penelitian : Anom, Hitchcock, and Sunarta (2005) dalam “Pro Poor Tourism: Tanjung Benoa Focus Group Study” menemukan :
“as might be expected there were differences of opinion in the role of tourism in their lives, but there was broad aggreement around a number of issues, which were largely regarded as positive. First, they were aware of the diversity of economic opportunities provided by tourism, not only through direct employment in the resort in the hotels, but also in a range of related occupations outside or close to the resort such as retail (clothing and souvenir shops), hospitality (locally owned cafés and hotels) and land and street maintenance; second, there was tourism’s general knock on effect in the economy that improved the quality of life through increased educational opportunities and improved living conditions. An important consideration for the predominantly Hindu villagers was the enhanced ability of people in gainful employment to contribute to the maintenance and functioning of the temples”.

Dalam pengembangan kepariwisataan harus dibarengi dengan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang diharapkan memiliki kompetensi sehingga mampu berperan dalam berbagai jenjang jabatan/pekerjaan di sektor pariwisata karena berdasarkan penelitian I Wayan Bawa, dkk (2001) tentang studi keunggulan Sumber Daya Manusia (SDM) Bali di bidang pariwisata menyatakan : (1) Keunggulan SDM etnis Bali di bidang pariwisata diberbagai jenjang jabatan ternyata sebagian besar terletak pada aspek-aspek pribadi yang lebih banyak merupakan sifat-sifat bawaan (personal qualities) dan kemampuan dalam berkerjasama dengan orang lain (human relations); (2) tidak terdapat keunggulan atau kelebihan yang menonjol di bidang-bidang yang ada hubungannya dengan kemampuan konseptual (conceptual skills) dan kemampuan teknis (technical skills) yang justru sebenarnya lebih banyak diperoleh melalui pendidikan, pelatihan dan pengalaman di lapangan; dan (3) SDM etnis Bali juga memiliki sejumlah kelemahan terutama yang berhubungan dengan aspek-aspek manajerial dan aspek bisnis lainnya, sehingga apabila dilihat dari jenjang jabatannya keunggulan SDM etnis Bali lebih banyak pada tingkat pelaksana, untuk itu perlu adanya kebijakan pengembangan SDM yang lebih terarah agar nantinya benar-benar dapat menghasilkan tenaga-tenaga yang profesional terutama sekali untuk jabatan-jabatan pimpinan dan pelaku bisnis pariwisata.
Pengembangan kepariwisataan di Indonesia diharapkan tidak menimbulkan kejenuhan wisatawan serta tetap mampu bersaing dengan daerah dan negara tujuan wisata yang lain, untuk itu diusahakan penemuan potensi objek dan daya tarik wisata yang baru dengan harapan mampu menambah diversifikasi objek dan daya tarik wisata serta diupayakan penciptaan keamanan yang kondusif serta rasa optimis harus tetap dikobarkan untuk meningkatkan kesempatan berusaha, kesempatan kerja, pendapatan negara, daerah, dan masyarakat secara umum, khususnya masyarakat lokal dengan terus mewujudkan pemberdayaan masyarakat, mengimplementasikan pariwisata kerakyatan, pelestarian lingkungan dan revitalisasi sosial budaya masyarakat (Anom, 2005).
Dalam perencanaan dan pengembangan pembangunan kepariwisataan diperlukan kajian yang mendalam dari berbagai potensi kepariwisataan baik potensi phisik, sosial budaya, sumber daya manusia maupun potensi lain yang selayaknya diperlukan untuk mewujudkan pembangunan pariwisata berkelanjutan (Sustainable Tourism Development)




II. Konsep Perencanaan dan Pengembangan Pembangunan Pariwisata
2.1 Konsep Perencanaan
Perencanaan (planning) adalah sebuah proses pengambilan keputusan yang menyangkut masa depan dari suatu destinasi atau atraksi. Planning adalah proses yang bersifat dinamis untuk menentukan tujuan, bersifat sistematis dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai, merupakan implementasi dari berbagai alternatif pilihan dan evaluasi apakah pilihan tersebut berhasil. Proses perencanaan menggambarkan lingkungan yang meliputi elemen-elemen : politik, fisik, sosial, budaya dan ekonomi, sebagai komponen atau elemen yang saling berhubungan dan saling tergantung, yang memerlukan berbagai pertimbangan (Paturusi, 2001).
Perencanaan adalah sesuatu proses penyusunan tindakan-tindakan yang mana tindakan tersebut digambarkan dalam suatu tujuan (jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang) yang didasarkan kemampuan-kemampuan fisik, ekonomi, social budaya,dan tenaga yang terbatas.
Perencanaan sebagai suatu alat atau cara harus memiliki 3 (tiga) kemampuan (the three brains) yaitu :
1. Kemampuan melihat ke depan.
2. Kemampuan menganalisis.
3. Kemampuan melihat interaksi-interaksi, antara permasalahan.
Dengan demikian hakikat perencanaan (planning) adalah decision making. Pengertian perencanaan tersebut dapat dilihat pada bagan berikut ini ;

Bagan ; Proses Perencanaan

Tindakan/ Sasaran-sasaran
PhisikKegiatan
Sistem
Input
Kemampuan

Ekonomi
Sosial
Budaya
TUJUAN












Bila kita rinci pengertian perencanaan tersebut maka dalam batasan perencanaan terdapat unsur :
Suatu pandangan jauh ke depan.
Merumuskan secara kongkret apa yang hendak dicapai dengan menggunakan alat – alat secara efektif dan ekonomis.
Menggunakan koordinasi dalam pelaksanaan.
2.2 Pendekatan Perencanaan Pariwisata
a. Pendekatan Pengelolaan Lingkungan Hidup
v Metode Keterkaitan, yang meliputi ;
o Metode Makro-Meso-Mikro
o Metode Partisipatif (participatory)
o Metode Morfologi
b. Pendekatan Pengembangan Kawasan
o Pendekatan Tipologi
o Pendekatan Pembangunan Masyarakat
o Pendekatan Ekowisata
o Pendekatan Konservasi
2.3 Tahapan/Tingkatan Pembangunan Pariwisata
Daerah Tujuan Wisata (DTW) atau resort akan menuju suatu siklus evolusi yang sama dengan siklus hidup sebuah produk. Secara sederhana jumlah pengunjung menggantikan penjualan sebuah produk. Beberapa penulis menyatakan terdapat tiga tingkatan siklus hidup daerah pariwisata yaitu; penemuan (discovery), inisiatif dan respon masyarakat lokal dan kelembagaan. Konsep tingkatan atau tahapan siklus hidup terjadi dalam pembangunan pariwisata merupakan salah satu permasalahan penting yang harus diantisipasi. Siklus hidup daerah pariwisata secara hipotesis yang dikemukakan oleh Butler seperti terlihat dalam bagan sebagai berikut:









Bagan
Siklus Hidup Daerah Pariwisata Secara Hipotesis


Eksplorasi Kontrol Kelembagaan Kestabilan
masyarakat kehidupan baru
lokal penurunan

Kelahiran Baru

Kestabilan


Konsolidasi Penurunan
kwalitas
Pembangunan

Keterlibatan

Pertumbuhan




Sumber : Butler (1980)

Seperti yang dikatakan oleh Butler 1980, bahwa terdapat enam tingkatan atau tahapan dalam pembangunan pariwisata. Ke enam tahapan tersebut adalah :
1. Eksplorasi (pertumbuhan spontan dan penjajakan)
Pada tahapan ini jumlah wisatawan petualang relatif kecil. Mereka cenderung dihadapkan pada keindahan alam dan budaya yang masih alami di daerah tujuan wisata. Di samping jumlah wisatawan yang kecil, juga ditambah dengan fasilitas dan kemudahan yang kurang baik. Pada tahapan ini atraksi di daerah wisata belum berubah oleh pariwisata dan kontak dengan masyarakat lokal akan tinggi.
2. Keterlibatan
Pada tahapan ini, inisiatif masyarakat lokal menyediakan fasilitas wisatawan, kemudian promosi daerah wisata dimulai dengan dibantu keterlibatan pemerintah. Hasilnya terjadi peningkatan jumlah wisatawan. Musim wisatawan dan mungkin tekanan pada publik untuk menyediakan infrastruktur.
3. Pengembangan dan Pembangunan
Pada tahapan ini jumlah wisatawan yang datang meningkat tajam. Pada musim puncak wisatawan bisa menyamai, bahkan melebihi jumlah penduduk lokal. Investor luar berdatangan memperbaharui fasilitas. Sejalan dengan meningkatnya jumlah dan popularitas daerah pariwisata, masalah-masalah rusaknya fasilitas mulai terjadi. Perencanaan dan kontrol secara Nasional dan Regional menjadi dibutuhkan, bukan hanya untuk memecahkan masalah yang terjadi, tetapi juga untuk pemasaran internasional.
4. Konsolidasi dan Interelasi
Pada tahapan ini, tingkat pertumbuhan sudah mulau menurun walaupun total jumlah wisatawan masih relatif meningkat. Daerah pariwisata belum berpengalaman mengatasi masalah dan kecenderungan terjadinya monopoli sangat kuat.
5. Kestabilan
Pada tahapan ini, julah wisatawan yang datang pada musim puncak wisatawan sudah tidak mampu lagi dilayani oleh daerah tujuan pariwisata. Ini disadari bahwa kunjungan ulangan wisatawan dan pemanfaatan bisnis dan komponen-komponen lain pendukungnya adalah dibutuhkan untuk mempertahankan jumlah wisatawan yang berkunjung. Daerah tujuan wisata mungkin mengalami masalah-masalah lingkungan, sosial dan ekonomi.
6. Penurunan kualitas (Decline) atau Kelahiran Baru (Rejuvenation).
Pada tahapan ini, pengunjung kehilangan daerah tujuan wisata yang diketahui semula dan menjadi “resort” baru. “Resort” menjadi tergantung pada sebuah daerah tangkapan secara geografi lebih kecil untuk perjalanan harian dan kunjungan berakhir pekan. Kepemilikan berpeluang kuat untuk berubah, dan fasilitas-fasilitas pariwisata seperti akomodasi akan berubah pemanfaatannya. Akhirnya pengambil kebijakan mengakui tingkatan ini dan memutuskan untuk dikembangkan sebagai “kelahiran baru”. Selanjutnya terjadi kebijaksanaan baru dalam berbagai bidang seperti pemanfaatan, pemasaran, saluran distribusi, dan meninjau kembali posisi daerah tujuan wisata tersebut.
Relevansi tahapan tersebut di atas dalam konsep pembangunan pariwisata adalah bahwa setiap tahapan/tingkatan pembangunan mempunyai karakter yang berlainan, yang memerlukan perlakuan perencanaan yang berbeda pula. Bali misalnya yang telah berada pada tahapan “stagnation” oleh karenanya masalah-masalah evaluasi daya dukung (carrying capacity) memerlukan pencermatan kembali, di samping masalah manajerial lainnya yang secara keseluruhan perlu dituangkan dalam re-evaluasi tata ruangnya. Konsekuensi dari adanya perbedaan karakteristik dalam pembangunan atau perkembangan pariwisata menuntut seorang perencana pariwisata untuk selalu mencermati bentuk keterkaitan antara komponen kepariwisataan dengan karakteristik komponen lingkungan untuk menentukan lingkup pekerjaan.
2.4 Tipe Pembangunan Pariwisata
Di Indonesia atau di beberapa negara lain biasa dikenal dua tipe pembangunan pariwisata berdasarkan pada pola, proses dan tipe pengelolaannya, yaitu : tipe tertutup (“enclave”) atau terstruktur dan tipe ke dua yaitu tipe terbuka (“spontaneouse”) atau tidak terstruktur. Ke dua tipe ini pada umumnya mempunyai perbedaan yang jelas dalam hal karakteristiknya, terutama pada pola, proses dan tipe pengelolaannya. Tipe tertutup atau terstruktur dapat diambil contoh seperti kawasan pariwisata Nusa Dua di Bali, yang diakui telah berhasil membangun dan mengembangan tipe kawasan pariwisata tertutup. Sedangkan untuk tipe terbuka atau tidak terstruktur dapat diambil contoh pada daerah daerah pariwisata di Indonesia yang perkembangannya spontan, seperti kawasan pariwisata Sanur dan Kuta.
Tipe tertutup atau terstruktur pada dasarnya ditandai oleh karakter-karakter sebagai berikut :
· Pada umumnya kawasan ini dilengkapi dengan infrastruktur yang spesifik untuk kawasan tersebut. Tipe ini memang tidak didesain untuk tujuan utama pada keuntungan penduduk lokal. Tipe kawasan seperti ini akan mempunyai kelebihan dalam kekuatan kesan yang ditumbuhkan sehingga mampu menembus pasar internasional.
· Lokasi biasanya terpisah dari masyarakat/penduduk lokal, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan mudah untuk dimonitor/dikontrol. Karena itu pengaruh sosial budaya yang ditimbulkan dari pariwisata terhadap penduduk lokal dapat terdeteksi sejak dini.
· Lahan pada umumnya terbatas, sehingga kawasan pariwisata biasanya tidak terlalu besar, sehingga masih berada pada tingkat kemampuan perencanaan yang integratif dan terkoordinir, dan akan mampu menjadi semacam agen untuk mendapatkan dana-dana secara internasional. Hal ini akan berfungsi sebagai struktur utama dalam mengembangkan fasilitas yang berkualitas tinggi yang pada umumnya diperuntukkan untuk kalangan internasional yang berduit. Tipe ini tentunya akan membawa iklim “harga tinggi” dengan harga-harga yang ditawarkan di dalam kawasan ini tidak akan terjangkau oleh penduduk lokal.
Tipe terbuka atau terstruktur yang bersifat spontan pada umumnya ditandai dengan karakter-karakter sebagai berikut :
· Tumbuh menyatu dengan struktur kehidupan baik ruang maupun pola masyarakat lokal.
· Distribusi pendapatan yang diperoleh dari wisatawan bisa secara langsung dinikmati oleh penduduk lokal.
· Dampak perkembangan pariwisata terutama dampak negatifnya menjalar dan menyatu dengan cepat ke dalam penduduk lokal, sehingga sulit di monitoring/dikontrol.
Kalau ingin mengetahui tipe mana yang lebih baik dari ke dua tipe pembangunan pariwisata tersebut, sangat tergantung dari sudut pandang kita walaupun diketahui masing-masing tipe pengembangan pariwisata ini sedikit tidaknya sangat tergantung dari karakteristik lokasi pariwisata itu dikembangkan. Kalau hanya dengan pertimbangan karakteristik lokasi, baik fisik, maupun sosial-budaya kita sebetulnya sudah dapat menentukan tipe nama yang lebih cocok dikembangkan di lokasi tersebut. Akan tetapi, sering kebijaksanaan yang diambil sering tidak hanya memperhatikan hal tersebut, walaupun banyak pihak yang harus dikorbankan. Kalau dicermati tujuan pembangunan pariwisata tersebut, untuk siapa sebetulnya pembangunan itu dilakukan, maka pertimbangan-pertimbangan untuk kepentingan masyarakat harus lebih dikedepankan.

III. Pembahasan
Secara umum perencanaan adalah suatu proses mempersiapkan secara sistematis kegiatan – kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Perencanaan itu sendiri merupakan “alat” dan bukan tujuan, perencanaan adalah alat untuk mencapai tujuan, dengan demikian dapat berubah – ubah menurut tempat, waktu dan keadaan. Perencanaan sebagai alat untuk dibuat sedemikian rupa sehingga fleksibel untuk tiap era pembangunan. Perencanaan dipakai sebagai alat atau cara karena hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa :
· Dengan perencanaan dapat dibuat urutan – urutan kegiatan menurut skala prioritas untuk mencapai tujuan.
· Dengan perencanaan dapat dibuat pengakolasian sumber daya yang paling baik. Alternatif dapat dibuat, agar sumber digunakan dengan sebaik – baiknya.
· Perencanaan merupakan alat ukur daripada kemajuan ekonomi dan juga sebagai alat pengawas daripada pelaksanaan pembangunan.
· Melalui perencanaan dapat dibuat perkiraan keadaan dimasa yang akan datang.
· Dengan perencanaan diharapkan pembangunan tidak akan terputus – putus, sebab perencanaan merencanakan proses pembangunan yang menyeluruh.
Ada beberapa alasan mengapa perencanaan diperlukan :
Memberi pengarahan
Dengan adanya perencanaan para pelaksana dalam suatu organisasi atau tim mengetahui apa yang hendak dilakukannya dan kearah mana yang akan dituju, atau apa yang akan dicapai.
Membimbing kerjasama
Perencanaan dapat membimbing para petugas bekerja tidak menurut kemauannya sendiri. Dengan adanya perencanaan, ia merasa sebagai bagian dari suatu tim, di tempat tugas seorang banyak tergantung dari tugas yang lainnya.
Menciptakan koordinasi
Bila dalam suatu proyek masing – masing keahlian berjalan secara terpisah, kemungkinan besar tidak akan tercapai suatu inkronisasi dalam pelaksanaan. Karena itu sangat diperlukan adanya koordinasi antara beberapa aktivitas yang dilakukan.
Menjamin tercapainya kemajuan
Suatu perencanaan umumnya telah menggariskan suatu program yang hendak dilakukan meliputi tugas yang tanggung jawab tiap individu atau tim dalam proyek yang dikerjakan. Bila ada penyimpangan antara yang telah direncanakan dengan apa yang telah dilaksanakan, akan segera dapat dihindarkan. Dengan demikian akan dapat dilakukan koreksi pada saat diketahui, sehingga sistem ini akan mempercepat penyelesaian suatu proyek.
Untuk memperkecil resiko
Perencanaan mencakup mengumpulkan data yang relevan (baik yang tersedia, maupun yang tidak tersedia) dan secara hati – hati menelaah segala kemungkinan yang terjadi sebelum diambil auatu keputusan. Keputusan yang diambil atas dasar intuisi, kerjakan ini kerjakan itu tanpa melakukan suatu penelitian pasar atau tanpa melakukan perhitungan rates of return on invesment, sangat dikhawatirkan akan menghadapi resiko besar. Karena itu perencanaan lebih lebih memperkecil resiko yang timbul berlebihan.
Mendorong dalam pelaksanaan
Perencanaan terjadi agar suatu organisasi dapat memperoleh kemajuan secara sistematis dalam mencapai hasil yang diinginkan melalui inisiatif sendiri. Itu pulalah sebabnya untuk mencapai suatu hasil diperlukan tindakan, namun demikian untuk melakukan tindakan dibutuhkan suatu perencanaan dan program. Di samping itu untuk membuat suatu perencanaan diperlukan suatu kebijaksanaan dalam mengambil keputusan. Dengan demikian untuk mengetahui data yang perlu dikumpulkan kita memerlukan tujuan yang hendak dicapai terlebih dahulu, sedangkan untuk mencapai suatu tujuan (objectives) diperlukan suatu pemikiran (thought) yang khusus. Jadi perencanaan (planning) merupakan suatu mata rantai yang esensial antara pemikiran (thought) dan pelaksanaan (action). Dengan perkataan lain kita dapat mengatakan bahwa “Thought without action is merely philosophy, action without thought is merely stupidity” (Oka A Yoeti, 1997).

Strategi Dasar Perencanaan Pariwisata

Analysis of Previous Tourist
Development
Evaluation of Position of Tourism
Formulation of Tourism Policy
Definition of Development
Strategy
Elaboration of Action Programme























Basic Stages in Tourism Planning
(Source : Acerenza, 1982)



Dalam perencanaan dan pengembangan pembangunan pariwisata perlu pula memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1) Syarat Daerah Tujuan Wisata yang baik harus ada empat faktor :
v ATTRACTION (ATRAKSI) :
- Site Attraction
- Event Attraction
v ACCESSIBILITY (KEMUDAHAN PENCAPAIAN) :
- Teratur
- Sering
- Murah dan Nyaman
v AMENITIES (FASILITAS) :
- Akomodasi
- Restaurant
- Hiburan
- Alat Komunikasi
- Prasarana dan Sarana Pendukung Kepariwisataan seperti ; listrik, telekomunikasi, jasa perbakan, dll.
v Organisasi-organisasi yang terkait dengan kepariwisataan.
2) Dalam pengembangan produk wisata perlu memperhatikan :
Ø Unic Sharing Point (USP)
Ø Interpretation
3) Mewujudkan pembangunan dan pengembangan kepariwisataan yang berkelanjutan dibidang fisik, ekonomi dan sosial budaya.
4) Dalam pengelolaan kepariwisataan agar mengacu konsep SHIP (Systemic Holistic Integralistic Participatory)
5) Khusus untuk pengembangan Sumber Daya Manusia, perlu mencermati hasil kajian sebagai berikut :
Pitana, Sirtha, Anom, et.al, (2005) dalam “ Hospitality Industry and Tourism Education (The Case of Indonesia)” menyatakan : To a great extent, the nature of tourism industry is unique compared to the other industries. Seen from human resource perspective, there are a number of weaknesses found in tourism industry at present, such as the low quality of available human resources, the scarcity of manpower at the top management level, but abundant labor at lowest-level, the uneven distribution of skilled labor by sector, and the low understanding of the nature of tourism industry with its various aspects.




IV. Kesimpulan dan Rekomendasi

1) Dalam pengembangan pembangunan kepariwisataan harus mengacu kepada konsep manajemen yang meliputi : Planning, Organizing, Staffing, Aktuating, Controlling, Evaluating.
2) Dalam pengembangan kepariwisataan harus sudah tersusun Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), serta Rencana Induk Pengembangan (RIP) Pariwisata.
3) Khusus dalam pengembangan SDM diperlukan pengembangan pendidikan pariwisata pada jenjang akademik dan profesional, hal ini sesuai dengan kajian
Pitana, Sirtha, Anom, et.al, (2005) dalam “ Hospitality Industry and Tourism Education (The Case of Indonesia)” menyatakan : Realizing the above situation, there is apparently a need to develop tourism education system. The tourism education system should not only aimend at producing lower-level skilled labor, but also at the management levels, not only at micro levels, but also at macro level, with the competence in planning, managing, and operating hospitality industry under the framework of increased quality and sustainability. In so doing, the tourism education should not merely focus its attention to diploma or vocational levels, but it must also be continued to master of even doctoral degrees.




























DAFTAR PUSTAKA

Anom, I Putu, 2005 Membangun Birokrasi Pemerintah yang Profesional Berbasis Kinerja untuk Mewujudkan Kepemerintahan yang Baik dalam Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan di Kabupaten Badung. Makalah Seminar Diklat Kepemimpinan Tingkat II Angkatan VIII BAKN, Hari Kamis, 3 Februari 2005 Denpasar.

Anom, I Putu, Michael Hitchcock and Sunarta I Nyoman. 2005. Pro Poor Tourism: Tanjung Benoa Focus Group. Paper Presented at “ 3rd Trans National Patners Meeting of the EU-ASEAN Project Building Research Capacity Pro Poor Tourism “Organized by National University of Laos Faculty of Forestry Department of Forest Management. April 4-7, 2005 in Vientiane Laos.

............. , Undang-undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan, Presiden Republik Indonesia.

............. , Undang-undang No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Bab VIII.

Ardika, I Gede. 2001, Paradigma Baru Pariwisata Kerakyatan Berkesinambungan, Makalah.

.................. , 2001, Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Yang Berbasis Kerakyatan, Makalah Seminar Nasional The Last or The Lost Paradise.

Bawa I Wayan, Ardika I Wayan, Suradnya I Made, Parimartha I Gede, Rai AA. Gede, Suratha I Ketut, Anom I Putu. 2001, Studi Keunggulan Sumber Daya Manusia (SDM) Bali di Bidang Pariwisata, Unud – STP Bali – BTDC, Denpasar.

Choy, Derrylow, 1997, Perencanaan Ekowisata, Belajar dari Pengalaman South East dalam Gunawan (ed) Perencanaan Pariwisata Berkelanjutan Prosedur Pelatihan dan Lokakarya, Penerbit ITB Bandung.

Colman, D, Nixon, F. 1978, Economic of Change in Less Development Countries, Second editur University of Manchester.

Cooper, Chris Jackson, Stephen. 1997, Distination Life Cycle: The Isle of Man Case Study, (ed Lesley France) dalam The Eartscan in Sustainable Tourism, MK : Easthscan Publication Heunited.

Departemen Kebudayaan dan Kepariwisataan R.I., 2006, Laporan Hasil Penelitian Pengembangan ODTW di Luar Jawa – Bali.

France, Lesley (ed), 1997, The earthscan Reader in Sustainable Tourism, London. Earthscan Publicitions Limited.

Inskeep, Edward, 1991, Tourism Planning and Integrated and Sustainable Development Approach, Van Non Strand Reinhold, New York.

Mathieson, A, and wall. G, 1990, Tourism, Economic, Physical and Social Impact.

Nelson, J. G Butler, R. Wall. G, 1993, Tourism and Sustainable Development, Monitoring, Planning, Managing, University of Waterloo : Heritage Resources Culture.

Oka, A. Yoeti, 1982, Pengantar Ilmu Kepariwisataan, Angkasa, Bandung.

Paturusi, Syamsul Alam, 2001, Perencanaan Tata Ruang Kawasan Pariwisata, Materi kuliah Perencanaan Kawasan Pariwisata Program Magister (S2) Kajian Pariwisata, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar.

Pearce, Douglas G, 1991, Tourism Development, John Walley & Sons, Inc, New York.

Pitana, I Gede. 1991, Community Management dalam pembangunan Pariwisata, dalam Majalah Analisis Pariwisata, Vol. 2 No. 2 Tahun 1999.

Pitana I Gede, Sirtha I Nyoman, Anom I Putu, Wita I Wayan, Wirawan I Gede Putu. 2005. Hospotality Industry and Tourism education (The Case of Indonesia). Paper presented at the 2005 ASAIHL Seminar on “ Hospitality and Tourism Education”, Phuket, Thailand, October 16-19, 2005, organized by Association of South East Asian institutions of Higher Leaning (ASAIHL) and Prince of Songkla University.
Sukarsa, dkk I Made., 1999. Pengatar Pariwisata. BKS. PTN-INTIM Dirjen Dikti Depdikbud RI.
Wahab, Salah. 1999. Manajemen Kepariwisataan, Jakarta : PT. Pradnya Paramitha.

2 komentar:

Berikan Komentar